BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Makalah
Ketika gelombang demokrasi melanda dunia di awal abad ke 19, pembicaraan mengenai perluasan keterlibatan rakyat dalam proses politik semakin penting. Apalagi setelah bubarnya salah satu negara adidaya yaitu Uni Soviet, yang diikuti dengan tercerai berainya persekutuan negara – negara blok Timur, posisi rakyat dalam ikut menentukan kepemimpinan politik kembali mendapat perhatian.
Salah satu perwujudan keterlibatan rakyat dalam proses politik adalah pemilihan umum. Pemilu merupakan sarana bagi rakyat untuk ikut menentukan figure dan arah kepemimpinan negara dalam periode waktu tertentu. Ide demokrasi yang menyebutkan bahwa dasar penyelenggaraan negara adalah kehendak rakyat merupakan dasar bagi penyelenggaraan pemilu. Maka ketika demokrasi mendapatkan perhatian yang luas dari masyarakat dunia, penyelenggaraan pemilu yang demokratis menjadi syarat penting dalam pembentukan kepemimpinan sebuah negara.
Pemilu memiliki fungsi utama dalam hal sirkulasi elit yang teratur dan berkesinambungan. Sebuah kepemimpinan yang lama tanpa dibatasi periode tertentu, dapat menjurus pada pada kepemimpinan yang korup dan sewenang – wenang. Banyak contoh dalam sejarah dunia yang memperlihatkan betapa kekuasaan yang absolut, tanpa pergantian elit yang teratur dan berkesinambungan, mengakibatkan daya kontrol melemah dan kekuasaan menjadi korup dan sewenang-wenang.
Tetapi
pemilu yang teratur dan berkesinambungan saja tidak cukup untuk menghasilkan
kepemimpinan yang benar-benar mendekati kehendak rakyat. Pemilu merupakan
sarana legitimasi bagi sebuah kekuasaan. Setiap penguasa, betapapun otoriternya
pasti membutuhkan dukungan rakyat secara formal untuk melegitimasi
kekuasaannya. Maka pemilu sering kali dijadikan alat untuk pelegitimasian
kekuasaan semata. Cara termudah yang dilakukan adalah mengatur sedemikian rupa
teknis penyelenggaraan pemilu agar hasil dari pemilu memberi kemenangan mutlak
bagi sang penguasa dan partai politiknya. Pemilu merupakan icon demokrasi
yang dapat dengan mudah diselewengkan oleh penguasa otoriter untuk kepentingan
melanggengkan kekuasaannya. Maka selain teratur dan berkesinambungan, masalah
system atau mekanisme dalam penyelenggaraan pemilu adalah hal penting yang harus
diperhatikan.
I.2
Perumusan Masalah
Pengalaman rakyat Indonesia
dengan pemilu sudah berusia lebih setengah abad. Pemilu pertama di awal
kemerdekaan pada tahun 1955 tercatat dalam sejarah sebagai pemilu multipartai
yang demokratis. Peserta pemilu terdiri dari partai politik dan perseorangan,
serta diikuti lebih dari 30 kontestan. Hasil pemilu 1955 memberikan cetak biru
bagi konfigurasi pengelompokan politik masyarakat yang tercermin dalam
konfiguarsi elit. Setelah pemilu 1955, pemilu berikutnya terjadi di era Orde
Baru. Kelebihan pemilu-pemilu orde baru keberkalaannya. Penguasa orde baru
berhasil menyelenggarakan pemilu secara teratur tiap lima tahun sekali. Tetapi
kelemahan mendasarnya adalah pemilu-pemilu orde baru diselenggarakan dengan
tidak memenuhi persyaratan sebuah pemilu yang demokratis. Harus diakui bahwa
bpartisipasi politik rakyat dalam mengikuti pemilu-pemilu Orde Baru
sangat fantastis. Rata-rata pemilu – pemilu orde baru diikuti oleh lebih dari
80 % pemilih, bahkan nyaris mendekati 90 % pemilih. Sebuah tingkat partisipasi
politik yang tidak dijumpai di negaran kampiun demokrasi seperti inggris dan
Amerika Serikat. Namun aturan penyelenggaraan pemilu-pemilu tersebut memiliki
cacat kronis.
I.3 Perumusan Masalah
Pertama, tidak ada kompetisi yang sehat dan adil diantara peserta pemilu. Hal itu dilihat dari adanya undang – undang yang membatasi jumlah partai peserta pemilu, yaitu hanya diikuti oleh 3 partai politik. Selain ketiga partai politik tersebut tidak boleh ikut pemilu, bahkan tidak boleh ada partai politik yang terbentuk selain ketiga partai tersebut. (PPP, Golongan Karya, PDIP).
Kedua, tidak ada kebebasan dan keleluasaan bagi pemilih untuk mempertimbangkan dan menentukan pilihan-pilihannya. Secara sistematis, penguasa orde baru menggunakan jalur birokrasi untuk memenangkan pemilu. Bahkan pada pemilu 1971, Menteri Dalam Negeri ketika itu sempat membuat edaran agar pegawai negeri memiliki loyalitas tunggal hanya pada pemerintah, yang diterjemahkan sebagai loyal pada partai penguasa. Pegawai negeri dilarang terlibat dalam partai politik, tetapi tidak dilarang jika terlibat dalam partai penguasa saat itu.
Ketiga, penyelenggara pemilu adalah pemerintah, terutama Departemen Dalam Negeri. Azas ketidakberpihakan penyelenggara pemilu tidak terpenuhi karena pemerintah adalah bagian dari partai berkuasa dan menjadi salah satu peserta pemilu pula. Dengan demikian besar peluang untuk kemungkinan terjadinya kecurangan dalam mekanisme teknis pemilu, yang tentu saja merugikan peserta pemilu lainnya (selain partai berkuasa).
Pertama, tidak ada kompetisi yang sehat dan adil diantara peserta pemilu. Hal itu dilihat dari adanya undang – undang yang membatasi jumlah partai peserta pemilu, yaitu hanya diikuti oleh 3 partai politik. Selain ketiga partai politik tersebut tidak boleh ikut pemilu, bahkan tidak boleh ada partai politik yang terbentuk selain ketiga partai tersebut. (PPP, Golongan Karya, PDIP).
Kedua, tidak ada kebebasan dan keleluasaan bagi pemilih untuk mempertimbangkan dan menentukan pilihan-pilihannya. Secara sistematis, penguasa orde baru menggunakan jalur birokrasi untuk memenangkan pemilu. Bahkan pada pemilu 1971, Menteri Dalam Negeri ketika itu sempat membuat edaran agar pegawai negeri memiliki loyalitas tunggal hanya pada pemerintah, yang diterjemahkan sebagai loyal pada partai penguasa. Pegawai negeri dilarang terlibat dalam partai politik, tetapi tidak dilarang jika terlibat dalam partai penguasa saat itu.
Ketiga, penyelenggara pemilu adalah pemerintah, terutama Departemen Dalam Negeri. Azas ketidakberpihakan penyelenggara pemilu tidak terpenuhi karena pemerintah adalah bagian dari partai berkuasa dan menjadi salah satu peserta pemilu pula. Dengan demikian besar peluang untuk kemungkinan terjadinya kecurangan dalam mekanisme teknis pemilu, yang tentu saja merugikan peserta pemilu lainnya (selain partai berkuasa).
I.4
. Tujuan Penulisan
Sejalan dengan dinamika bangsa
ini yang masih terus mencari bentuk yang lebih baik untuk menghasilkan generasi
cerdas yang berbudi,maka saya membuat makalah ini sesuai dengan pendekatan
materi yang diberikan dengan tujuan agar para mahasiswa mampu mengembangkan dan
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari serta mampu bersikap positif kepada
sesama manusia, dan ikut serta melestarikan lingkungan alam sebagai ungkapan
rasa syukur atas segala anugrah Allah yang maha pemurah. saya telah berusaha
menyusun makalah ini sebaik mungkin. Akan tetapi, saya menyadari bahwa makalah
ini masih belum sempurna. Oleh sebab itu, kritik dan saran dari berbagai pihak
untuk perbaikan isi makalah ini agar bisa terwujud dengan lebih baik.
I.5
Sistematika Penulisan
A. Definisi Konsepsional
Definisi konsepsional merupakan pembatasan pengertian tentang hal-hal yang perlu diamati. Sedangkan pengertian konsep itu sendiri adalah suatu pemikiran umum mengenai suatu masalah atau persoalan (Koentjaraningrat, 1980). Dari pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa konsep merupakan pembatasan terhadap variabel-variabel penelitian untuk menentukan indikator-indikator yang akan diteliti.
Dengan demikian definisi konsepsional pada Tingkat Kesadaran Politik Pemilih Pemula dalam Pilkada adalah suatu sikap yang ditentukan adanya kepedulian terhadap budaya berpolitik yang baik dengan mengikutsertakan secara aktif dalam memaknai pembelajaran berpolitik dan memanfaatkannya dengan sikap pengendalian diri melalui pengembangan pengalaman yang didapatkannya untuk bekal bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Definisi konsepsional merupakan pembatasan pengertian tentang hal-hal yang perlu diamati. Sedangkan pengertian konsep itu sendiri adalah suatu pemikiran umum mengenai suatu masalah atau persoalan (Koentjaraningrat, 1980). Dari pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa konsep merupakan pembatasan terhadap variabel-variabel penelitian untuk menentukan indikator-indikator yang akan diteliti.
Dengan demikian definisi konsepsional pada Tingkat Kesadaran Politik Pemilih Pemula dalam Pilkada adalah suatu sikap yang ditentukan adanya kepedulian terhadap budaya berpolitik yang baik dengan mengikutsertakan secara aktif dalam memaknai pembelajaran berpolitik dan memanfaatkannya dengan sikap pengendalian diri melalui pengembangan pengalaman yang didapatkannya untuk bekal bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
B. Definisi Operasional
Menurut Koentjaraningrat (1980), definisi operasional adalah unsur penelitian yang memberikan pengertian tentang cara mengubah konsep-konsep yang berupa konstruk dengan kata-kata yang menggambarkan perilaku gejala yang dapat diamati dan dapat diuji serta ditentukan kebenarannya oleh orang lain.
Dengan demikian variabel dalam penelitian ini mencakup kesadaran politik dan pemaham siswa sebagai pemilih pemula dalam Pilkada. Sedangkan instrumen dikembangkan berdasarkan indikator sebagai berikut:
1. Sikap dan perilaku yang saling peduli, yaitu: Suatu nilai dari perbuatan yang timbal balik untuk dapat memperhatikan/menghiraukan sesuatu/lingkungan.
2. Partisipasi aktif, yaitu: perihal turut berperan serta di suatu kegiatan secara giat/berusaha.
3. Kebermanfaatan yang diperoleh, yaitu: sesuatu hal/keadaan yang berguna untuk dicapai.
4. Akses dan kontrol sosial, yaitu: pencapaian pengendalian berkenaan dengan masyarakat.
5. Dampak yang didapat dari pengalaman, yaitu: pengaruh kuat yang mendatangkan akibat negatif atau positif dari pengalaman yang telah didapatkannya.
Menurut Koentjaraningrat (1980), definisi operasional adalah unsur penelitian yang memberikan pengertian tentang cara mengubah konsep-konsep yang berupa konstruk dengan kata-kata yang menggambarkan perilaku gejala yang dapat diamati dan dapat diuji serta ditentukan kebenarannya oleh orang lain.
Dengan demikian variabel dalam penelitian ini mencakup kesadaran politik dan pemaham siswa sebagai pemilih pemula dalam Pilkada. Sedangkan instrumen dikembangkan berdasarkan indikator sebagai berikut:
1. Sikap dan perilaku yang saling peduli, yaitu: Suatu nilai dari perbuatan yang timbal balik untuk dapat memperhatikan/menghiraukan sesuatu/lingkungan.
2. Partisipasi aktif, yaitu: perihal turut berperan serta di suatu kegiatan secara giat/berusaha.
3. Kebermanfaatan yang diperoleh, yaitu: sesuatu hal/keadaan yang berguna untuk dicapai.
4. Akses dan kontrol sosial, yaitu: pencapaian pengendalian berkenaan dengan masyarakat.
5. Dampak yang didapat dari pengalaman, yaitu: pengaruh kuat yang mendatangkan akibat negatif atau positif dari pengalaman yang telah didapatkannya.
C. Populasi dan Sampel
D.
Metode
Analisis Data
Teknik
analisa data yang akan digunakan dalam penelitian adalah dengan menghitung
Standar Deviasi.
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pemilihan
Umum (Pemilu) adalah suatu proses di mana para pemilih memilih orang-orang
untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Pemilihan Umum 2009 di Indonesia
itu membuka mata dunia bahwa demokrasi dapat tumbuh dan berkembang dengan baik
di Indonesia. Selain sebagai negara Muslim terbesar di dunia dan negara
demokrasi terbesar ketiga di dunia.
3.2 Saran
Pembahasan
makalah ini sangatlah sederhana,secara keseluruhan makalah ini sudah cukup
menggambarkan tentang pemilu. Oleh karena itu kepada pembaca makala ini agar
kiranya berkenan memperbaiki makalah ini agar lebih menarik dan Interaktif.
Sebaiknya bagi para pemilih agar memilih calon legisltif yang jujur dan dapat
dipercaya dengan baik,karna dengan itulah Negara kita akan tetap maju di masa
yang akan datang .
Jadi gunakan hak pilih anda dengan baik dan bijak.
Jadi gunakan hak pilih anda dengan baik dan bijak.
DAFTAR PUSTAKA
Hadi Sutrisno(1990).
Metodologi Research. Yogyakarta: Andi Offset.
Panggabean (1994).
Pendidikan Politik dan Kaderisasi Bangsa. Sinar Harapan, Jakarta.
Rush, Michael dan
Althoff, Philip (1990). Pengantar Sosiologi Politik. Rajawali Pers, Jakarta.
Suharsimi A. (1993).
Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Undang-Undang. (2005).
Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah dan PERPU Nomor 3 Tahun 2005 Perubahan Atas UU No. 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintah Daerah, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar